Makhluk apa itu HAM? Siapa Bertanggung Jawab Terhadap Pelanggaran HAM?

        
Nurhidayatuloh, S.H.I.,S.Pd.,S.H.,LL.M.,M.H.,M.H.I.
           Beberapa saat yang lalu kita disuguhkan gelaran penggusuran di ibu kota yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama, terhadap penduduk di wilayah Kampung Pulo. Apakah dalam peristiwa tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) atau tidak, hal ini perlu diselidiki lebih lanjut oleh pihak yang berwenang. Namun demikian, yang menarik perhatian adalah pernyataan
Gubernur yang sungguh memilukan ketika hal ini diucapkan oleh seorang kepala daerah yang bertindak pada saat merepresentasikan negaranya. "Kalau saya ditanya, 'Apa HAM anda?' Saya ingin 10 juta orang hidup, bila dua ribu orang menentang saya dan membahayakan 10 juta orang, (maka dua ribu orang itu) saya bunuh di depan anda." (http://news.detik.com, Sabtu 22 Agustus 2015, 10:21 WIB). Konteks pernyataan ini berkenaan dengan sekira dua ribu penduduk Kampung Pulo yang keberadaannya, menurut gubernur, berpotensi membahayakan sepuluh juta penduduk ibu kota Jakarta. Meluruskan Pengertian HAM dan Pelanggaran HAM Terlepas dari pro dan kontra yang disuguhkan dalam penggusuran tersebut, penulis sangat menyayangkan pernyataan Gubernur yang seolah minim pemahaman tentang HAM. Apa hakekat HAM, apa subyek dan obyek HAM dan apakah kita dapat mengorbankan HAM segelintir orang untuk menjamin HAM sebagian besar orang? Hakekat HAM adalah hak asasi yang dimiliki seseorang oleh karena ia adalah manusia. Hal ini dijamin tanpa melihat adanya perbedaan suku, ras, warna kulit, pilihan politik, agama, keyakinan, bahkan kewarganegaraan sekalipun. Sehingga tidak ada alasan bagi suatu negara tidak menjamin hak asasi warga negara asing hanya dengan alasan ia bukan warga negaranya. HAM memiliki dimensi lintas batas negara dengan lahirnya Deklarasi Universal HAM dan instrumen internasional lain yang berhubungan dengan HAM. Namun demikian, konsep universal ini pada ranah aplikasinya seringkali menjadi masalah dalam konteks nasional suatu negara. Padahal cikal bakal munculnya HAM ini demi melindungi individu oleh karena kekuasaan negara yang begitu besar. Begitu pula Indonesia negara yang begitu besar dan dengan kekuasaan yang besar pula dimiliki oleh pemerintahannya. Pelanggaran HAM dilakukan oleh negara, sifatnya bisa aktif maupun pasif atau by ommission dan by commission. Pelanggaran HAM by commission terjadi dimana negara melakukan sesuatu sehingga hak asasi seseorang dirugikan, sedangkan Pelanggaran HAM by ommission terjadi pada saat negara tidak melakukan sesuatu didalam wilayah kedaulatannya sehingga hak asasi seseorang dirugikan oleh karena negara seharusnya melakukan sesuatu. Penulis mengakui konsep HAM di Indonesia mengalami kerancuan yang sistematis. Hal ini diawali dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang 39/1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Undang-Undang HAM, Pelanggaran HAM (human rights violations) dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lain. Padahal konsep ini dalam instrumen HAM internasional manapun tidak diakui. Pelaku Pelanggaran HAM hanya bisa dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini di dasarkan pada imputability principle. Prinsip ini dapat dikenakan pada seseorang yang sedang dalam tugasnya, dalam hal ini merepresentasikan negara, melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan yang melanggar hak asasi orang lain. Sehingga, pendek kata, apabila Basuki Cahaya Purnama sebagai pribadi menggusur atau mengusir penduduk Kampung Pulo oleh karena tanah kampung pulo yang secara hukum sah adalah miliknya dengan tanpa memperdulikan warga kampung pulo nantinya akan tinggal dimana setelah penggusuran itu, maka Basuki Cahaya Purnama tidak melakukan Pelanggaran HAM. Sebaliknya, apabila Basuki Cahaya Purnama sedang dalam kapasitasnya sebagai seorang Gubernur DKI Jakarta menggusur secara sewenang-wenang warga Kampung Pulo dengan tanpa menyediakan tempat tinggal baru bagi mereka, maka negara, melalui representasi Gubernur DKI Jakarta, telah melakukan Pelanggaran HAM terhadap warga Kampung Pulo (Article 11 Para (1) ICESCR jo. Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945). Terlebih lagi konsep yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM yang sama sekali mis-konsepsi terhadap istilah Pelanggran HAM Berat. Persoalannya adalah undang-undang ini secara terbatas “mengadopsi” Rome Statute, 1998. Lebih memprihatinkan lagi dalam statuta yang diadopsi tersebut sama sekali tidak menyinggung soal kompetensi absolutnya adalah Pelanggaran HAM tapi Kejahatan Serius (serrious crime). Persoalan di dalam masing-masing kejahatan itu terdapat unsur HAM adalah benar, namun Kejahatan Serius itu bukan merupakan Pelanggaran HAM. Yurisdiksi absolut Pengadilan HAM dalam UU Pengadilan HAM adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mencampuradukkan konsep Pelanggaran HAM dan Kejahatan Serius inilah yang menurut hemat penulis sangat bermasalah. Sementara ini, di Indonesia maksudnya adalah Kejahatan Serius, namun konsepnya adalah Pelanggaran HAM sedangkan pelakunya adalah individu. Perlindungan HAM Terhadap Individu dan Perlunya Dekonstruksi Pengadilan HAM Power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely merupakan cikal bakal mengapa indivdu perlu dilindungi oleh negara. Mengorbankan hak asasi seseorang demi melindungi hak asasi orang lain yang lebih banyak merupakan konsep yang sama sekali tidak masuk akal. Mengapa harus dipertentangkan antara mayoritas dan minoritas dalam negara rule of law yang salah satu pilarnya adalah demokrasi. Lakum dī nukum wa līyadīn. Justru minoritas inilah yang perlu mendapat perhatian lebih dari negara, oleh karena minoritas seringkali dikorbankan untuk mencapai tujuan mayoritas. Jangankan dua ribu orang dikorbankan demi sepuluh juta orang, satu individu saja apabila dikorbankan untuk dua ratus lima puluh juta masyarakat Indonesia, maka negara ini telah melakukan Pelanggaran HAM. Konsep inilah yang musti ditanamkan oleh setiap pejabat di negari ini. Sampai saat ini, sangat disayangkan, Indonesia bahkan ASEAN sekalipun belum memiliki pengadilan HAM. Bukan Pengadilan HAM dengan yurisdiksi Kejahatan Serius, namun Pengadilan HAM yang benar-benar Pengadilan HAM. Pengadilan yang seharusnya kita miliki sebagaimana telah berdiri di negaranegara Eropa (European Court of Human Rights), Amerika (Inter-American Court of Human Rights) dan Afrika (African Court on Human and Peoples’ Rights) di masing-masing regionalnya. Perjuangan HAM di negeri ini masih sangat jauh dari kata selesai bahkan kita belum sama sekali memulainya. Perlu kemauan yang kuat dari pemerintah untuk segera mendirikan Pengadilan HAM yang sifatnya permanen. Empat wilayah pengadilan yang selama ini hanya di miliki oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Militer nampaknya sudah tidak relevan dan konsep klasik yang perlu segera diubah oleh karena perkembangan zaman. Selain keempat wilayah pengadilan tersebut, perlu ditambahan satu lagi yakni Pengadilan HAM untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia benar-benar serius untuk menjamin hak asasi manusia di dalam wilayah kedaulatannya sekaligus memberi inspirasi kepada ASEAN untuk segera membentuk Pengadilan HAM tingkat regional. Dalam pengadilan ini perlindungan terhadap individu akan semakin jelas terlihat dengan menghadapkan antara individu dan Negara. Individu diposisikan sebagai “penggugat/pemohon” dan negara sebagai “tergugat/termohon,” oleh karena individu selalu diposisikan sebagai korban dan negara sebagai pelaku pelanggaran HAM. Sehingga dalam pembuktiannya seorang individu akan berjuang dengan bikti-bukti yang ia miliki membuktikan bahwa negara telah melanggar hak-hak asasinya, sebaliknya negara mempertahankan dengan alat buktinya bahwa dengan bertindak atau diamnya negara tidak ada hak asasi yang telah dilanggarnya. Dibentuknya Pengadilan HAM memang perjuangan yang tidak murah, perlu perjuangan yang panjang dan itikad baik dari pemerintah untuk melakukannya. Untuk sementara, oleh karena rumitnya prosedur untuk mengubah konstitusi, pengadilan ini dibuat secara khusus di dalam Pengadilan Negeri mungkin solusi alternatif yang paling mungkin. Akan tetapi, lagi-lagi, ini akan berbenturan dengan Pengadilan HAM yang selama ini ada dengan yurisdiksi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, amandemen terhadap Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Pengadilan HAM adalah langkah awal yang harus dilakukan demi menjamin individu terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara.
Previous
Next Post »

2 komentar

Click here for komentar
16 Oktober 2015 pukul 16.45 ×

panjang nian gelar nya.keren

Reply
avatar
nalopaetz
admin
4 Maret 2022 pukul 04.30 ×

Casino Review, Ratings, Games, Special Offers and
Read on! 사천 출장샵 Casino Review, Ratings, 제주도 출장샵 Games, Special Offers and Promotions · Poker Promotions · Sportsbook · Casino App 양주 출장마사지 · Casino & 의정부 출장안마 Poker · Casino 고양 출장샵 · Slots & Games.

Reply
avatar