KEMERDEKAAN DAN MORAL YANG RAPUH

Zainul Akim, S.H., M.H
         Beberapa waktu yang lalu kita baru saja memperingati kemerdekaan indonesia yang ke 70 tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya acara 17an diperingati dengan banyaknya lomba dan kegiatan seremonial baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat. Tapi terkadang saya merasa bahwa peringatan 17an hanya menjadi acara tanpa makna dan tanpa arti yang seolah rutin dilaksanakan setiap tahunnya.

Jika kita melihat gambaran yang lebih luas tentang indonesia maka terlihat dengan nyata sesungguhnya negara kita masih jauh dari kata merdeka. Lihatlah tingginya kemiskinan nilai-nilai keluhuran dan kedaulatan atas negeri. Kita lupa untuk membangun dan meneguhkan martabat yang diawali dari acuhnya keinginan untuk membangun dan mencintai indonesia. Maraknya manuver politik para politikus yang lupa memberi contoh cara beretika elegan dan santun seolah menjadi kata basi yang sudah bosan didengar rakyat.
Lihatlah diberbagai sudut negeri tentang tingginya angka pengangguran dan kerusakan alam akibat perambahan hutan yang dilakukan tanpa peduli akan dampak dalam 20 hingga 50 tahun mendatang. Semua orang berlomba menghancurkan lingkungan guna memenuhi kantong kerakusan dan ketamakan segelintir orang. Hutan lindung dihancurkan diganti dengan perkebunan nonkultur dan hanya menyisakan setetes penguatan ekonomi lokal dan hidup masyarakat sekitar wilayah perkebunan.
Kita bersemangat mengucapkan ikrar pancasila ketika upacara 17 agustus dan melupakan esensi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan membangun ekonomi kapitalis guna menguntungkan para pemilik modal dan oknum yang tidak bertanggungjawab.
Coba kita lihat ego sektoral yang terjadi beberapa waktu lalu antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam kebijakan impor bahan pangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Daerah Tertinggal menyangkut alokasi anggaran untuk desa dan Kementerian Keuangan dengan Badan Pertanahan Nasional mengenai investasi properti oleh pemilik modal asing. Serta tonjolan arogansi serta tafsir sepihak yang dilakukan oleh kalangan penegak hukum. Semua ini kembali pada krisis kepemimpinan dan kenegarawanan di negeri besar ini.
Seluruh masalah yang seolah tanpa henti akhirnya melahirkan kultur self fullfilling prophency dalam makna yang negatif. Semua orang menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi tanpa memperhitungkan dampak yang diakibatkannya. Bayangkan beberapa waktu lalu harga Dollar yang menembus Rp.14.045 melahirkan para pejabat dan orang kaya yang sengaja menyimpan dollar bukan didorong hasrat untuk Profit taking melainkan disebabkan karna ketidakpercayaan individu pada pemerintahnya sendiri.
Kepemimpinan Hilang Makna
Krisis kepemimpinan di negeri ini sudah terlanjur kritis. Bahkan untuk memunculkan calon-calon kepala daerah yang baik pun seolah sulit sekali. Semua calon rebutan kekuasaan guna menjadi raja kecil didaerah. Bukan didasari oleh keinginan untuk membangun daerahnya lebih maju. Kita memuja demokrasi dengan alasan bahwa pemimpin lokal perlu dimunculkan. Namun kita lupa bahwa sesungguhnya demokrasi yang kita bangun masih belum matang dan seolah cemas akan eksistensi serta kepribadiannya karena tidak mampu melahirkan banyak pemimpin lokal yang mau membangun negeri.
Sepertinya kita butuh ramuan mujarab guna menemukan pemimpin yang memiliki ketegasan dengan model kepemimpinan yang baik. Semua harus dimulai dengan kepemimpinan yang tegas guna mengembalikan kebobrokan yang senantiasa terjadi di negeri ini. Kombinasi kepemimpinan yang arif serta ketegasan yang tidak menoleransi pembangkangan dan penyimpangan praktik bernegara harus dilakukan. Sebab jalan menuju pembangunan perlu dipandu oleh “panglima kebijaksanaan” yang telah selesai dengan urusannnya sendiri dan tertantang untuk membangun negrinya.
Mengapa para panglima kebijaksanaan harus terpanggil dan dipanggil oleh negeri ini ? sebab kita ditantang untuk mengkikis, membombardir dan menghancurkan bermacam-macam agenda yang berpotensi mencerai-beraikan persatuan, keadilan dan kebhineka tunggal ika. Kita perlu cara berfikir baru dan tindakan untuk mengatasi dan melampaui semua itu untuk membangun mimpi indonesia berdaulat.
Disamping itu kita juga butuh panduan moralitas kuat yang terpancar dalam setiap eksekusi terhadap kejahatan politik ekonomi yang melembaga. Dukungan dan sumbangsih seluruh elemen bangsa untuk menjemput dan menaklukkan tantangan yang semakin berat bukan hanya diperlukan tapi juga dibangkitkan lewat prakarsa keteladanan yang membumbungkan semangat serta harapan.
Kita tidak boleh membiarkan otokrasi sistem yang meracuni dan membelenggu cara berfikir hingga rakyat menjadi korban. Para pendiri bangsa adalah elite terdidik dan terpelajar. Bersikap rakus dan serakah harusnya ditinggalkan dan menunjukkan luhurnya moralitas dan keteguhan atas sikap dan tindakannya. Sebab rakyat butuh figur bukan hanya slogan belaka.
Kami bosan pada semua  slogan yang dikeluarkan oleh pemerintah, termasuk slogan “ayo kerja” yang seolah kosong tanpa makna. Bukan bersikap pesimistis namun memang seharusnya kita bekerja tanpa perlu diumbar dan didorong. Sebab jika kita tidak bekerja dengan baik dan penuh semangat maka bagaimana kita dapat menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga.
Panduan moral harus terus didukung dan dibangun oleh pemimpin yang kuat. Sebab lemahnya kepemimpinan nasional akhirnya melahirkan kultur pembangkang oleh rakyat. Dukungan dan sumbangsih oleh semua elemen bangsa untuk menjemput dan menaklukkan tantangan yang semakin berat bukan hanya diperlukan namun juga dibangkitkan lewat prakarsa keteladanan yang membumbungkan semangat dan harapan rakyat. Kita tidak boleh membiarkan asing dan orang lain mengatur diri kita.
Sebab para pendiri bangsa sampai hari ini masih terus memberikan contoh yang nyata bahwa keluhuran moralitas dan keteguhan keyakinan akan memberikan inspirasi dan keteladanan pada rakyat hingga nama kita dikenang.
Previous
Next Post »