Satu Dasawarsa Guru Besar Amzulian Rifai, “Sudah Berkarya Apa Untuk Bangsa?”

Nurhidayatuloh
Tepat pada tanggal 9 Mei 2015 merupakan hari yang sangat sakral bagi Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Sepuluh tahun Jabatan Guru Besar Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D. telah diperingati di Hall Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D. FH Tower Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Satu dasawarsa bukan waktu yang singkat untuk menjabat sebagai seorang guru besar dan dua periode bukan hal
yang gampang untuk memimpin sebuah institusi sebesar Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Banyak karya yang wajib ditorehkan dan tanggung jawab yang harus diemban untuk menjadi dua sosok penting sekaligus yang merupakan amanah yang sangat berat. Di satu sisi, sebagai seorang profesor, karya merupakan hal yang niscaya baik karya level nasional maupun level internasional. Bukan pekerjaan yang mudah untuk berkarya seperti Beliau. Kebanyakan dosen akan mengibarkan bendera putih oleh karena kengerian karya level internasional ini, sehingga karya internasional menjadi momok bagi setiap dosen di negeri ini yang ingin menjadi profesor. Tapi, kengerian ini tidak berlaku baginya. Ia mengolah hal yang paling tidak disukai oleh orang lain, khususnya para dosen senior yang “gagap” bahasa Inggris, menjadi sebuah tantangan yang harus ditaklukkan.
Di sisi lain, sebagai Dekan Fakultas Hukum di universitas terbesar di Sumatera Selatan merupakan tanggung jawabnya. Harmonisitas jalannya hukum antara das sein dan das sollen di Sumatera Selatan, secara khusus, berada di pundaknya. Kunci dari tangggung jawab adalah “mental.” Orang yang bermental baja akan mengolah cobaan dan cercaan yang diterimanya menjadi sebuah prestasi monumental yang tidak akan lekang oleh zaman. Namun sebaliknya, orang yang bermental “tempe” pasti akan mundur dan menyerah menghadapi semua hinaan dan tuduhan dan baginya tidak ada ruang serta namanya pasti akan dilupakan oleh sejarah dan zaman. Begitulah semboyannya.
Muncul banyak pertanyaan dan pernyataan yang menggugah kredibilitas seorang guru besar, bahkan kepada beliau sekalipun. Dengan fasilitas lebih yang didapat dari negara daripada dosen yang bukan guru besar, beliau sangat faham akan tanggung jawab yang diembannya terhadap perkembangan keilmuan baik bagi dirinya maupun bagi bangsanya. Bukan hanya sebagai seorang “nabi ilmiah”, tapi juga “rosul ilmiah.” Nabi belum tentu rosul, akan tetapi rosul pasti nabi. Level nabi, wahyu yang didapatkan hanya akan dikonsumsi oleh dirinya sendiri dan tidak ada kewajiban untuk men-syi’ar-kannya kepada ummat. Sebaliknya, rosul tidak se“egois” nabi. Rosul menerima wahyu tidak hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi juga men-syari’at-kan untuk umatnya di muka bumi. Itulah bedanya cara berkarya Profesor Amzulian Rifai dengan kebanyakan profesor di negeri ini.
Peringatan Sepuluh Tahun Jabatan Guru Besar Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D. akan menjawab pertanyaan sumbangsihnya untuk bangsa. Hal ini dibuktikan dengan forum “uji kelayakan” yang dilakukan dari sudut pandang media masa. Para wartawan senior baik lokal maupun nasional dihadirkan khusus untuk memberikan penilaian terhadap pencapaian Beliau. Ini adalah bentuk tanggung jawab moral terhadap ilmu yang ia miliki. Tokoh-tokoh senior media seperti:  Hj. Nurseri (Sumatera Ekspres), Hadi Prayogo (Sriwijaya Post), Hj. Aina Rumiyati Aziz (Seputar Indonesia), Firdaus Komar (Berita Pagi), dan Rika Damayanti (TVRI Sumsel Babel) memberikan catatan-catatan kritis akan prestasinya. Mulai dari semua fenomena hukum dan sosial ia tulis sampai kepada wacana korupsi FH Tower pun terucap di forum tersebut. Namun, inilah yaumul hisab sughro bagi Amzulian. Yaumul hisab yang secara positif bisa dimaknai sebagai rohmah atau rahmat, tapi juga bisa sebaliknya secara negatif sebagai musibah. Tinggal kita lihat apakah ia menerima raport tesebut dengan tangan kiri atau tangan kanan.
Sepuluh tahun dalam pengertian musibah baginya dapat dimaknai sebagai yaumul hisab ilmiah. Pertanyaan yang paling tepat dihadirkan adalah “sudah berkarya apa Amzulian untuk bangsa?”, bukan “sudah memiliki karya berapa Amzulian untuk dirinya sendiri?.” Jelas, pertanyaan pertama bobotnya jauh lebih berat dari pada pertanyaan kedua. Oleh karena, pertanyaan kedua hanya bisa dijawab oleh seseorang yang selevel dengan “nabi,” namun pertanyaan pertama dan kedua pasti bisa dijawab dengan gampang oleh seseorang yang selevel dengan “rosul,” tentunya dalam hal ini adalah nabi ilmiah dan rosul ilmiah, bukan teologis. Apabila ia tidak bisa menjawab ini, maka akan terjadi kiamat sughro baginya.
Forum sepuluh tahun Jabatan Guru Besar Prof. Amzulian Rifai menjadi momentum baru untuk meningkatkan “ketaqwaan” beliau. Tidak hanya pujian, akan tetapi ia juga dihujani dengan hujatan dan kritikan yang terucap dari para wartawan senior tersebut. Namun, bukan Amzulian namanya kalau kritikan tidak dijawab dengan karya dan prestasi. Ketika mendapat kritikan pedas justru beliaulah orang pertama yang memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan paling awal dan paling keras. Forum yang sungguh demokratis. Nampaknya, ia telah menerima raportnya dengan tangan kanan yang menanggapi hujatan dan kritikan itu sebagai sunatullah yang harus disikapi secara positif untuk perkembangan keilmuannya. Dengan jargon memaksimalkan potensi positif dan meminimalkan potensi negatif, ia mengubah makna di balik musibah pasti ada rohmah dengan rohmah untuk Amzulian adalah rohmah untuk orang lain.
Rohmah pertama adalah menjadi guru besar dan berhasil mempertahankannya selama sepuluh tahun. Guru besar sebagai puncak gelar akademik tertinggi seorang dosen, saat ini, hanya dapat dipertahankan dengan berbagai karya dan prestasi. Karya dicatat dalam bentuk tulisan dan karya ilmiah, level nasional atau internasional bereputasi tentunya, sebagai identitas ideologi keilmuan seorang profesor dan prestasi bisa dalam bentuk pencapaian yang telah ia lewati. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa Profesor memiliki kewajiban khusus yang meliputi: 1) menulis buku, 2) menghasilkan karya ilmiah, 3) memperluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat. Selain itu, kewajiban khusus profesor dalam Pedoman Beban Kerja Dosen dijelaskan juga bahwa profesor wajib melaksanakan: pertama, menulis buku minimal setara 3 sks pertahun; kedua, menghasilkan karya ilmiah minimal setara 3 sks per tahun; ketiga, menyebarluas gagasan minimal setara 3 sks per tahun. Ketiga kewajiban ini harus terlaksana dalam kurun waktu tiga tahun.
Menghitung karyanya bukan hal yang gampang. Sekitar lebih dari delapan ratus karya tulis di berbagai jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional, media masa dan buku telah ia catatkan. Belum lagi sumbangsihnya terhadap dunia hukum di Indonesia dan Amerika dengan menggodok puluhan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, memberikan berbagai pelatihan bagi para jaksa Indonesia, visiting scholar di Ohio University, USA, dan pernah menjadi Anggota International Barrister Association (IBA) di New York (2009) dan Toronto, Kanada (2014). Ini merupakan ledakan iqra’, sebagai mu’jizat terbesar Al-Qur’an (Yudian Wahyudi, Jihad Ilmiah: Dari Tremas ke Harvard, 2009), yang tidak sembarang profesor di negeri ini bisa samai levelnya. Kegiatan menulis seorang profesor adalah proses penerimaan “wahyu ilmiah” yang dilakukan dengan membaca simtem-simtem ilmiah yang berakhir pada lahirnya sebuah kesimpulan yang berupa teori ilmiah. Delapan ratus karya sama dengan delapan ratus teori ilmiah. Meskipun sebagai manusia, memang, tidak semua teori yang diucapkannya merupakan kebenaran absolut. Namun apabila terdapat kesalahan, hal ini telah menggugurkan kewajibannya sebagai seorang ‘alim yang telah berijtihad untuk mendapatkan pahala dua pada saat benar dan pahala satu pada saat salah.
Rohmah kedua adalah menjadi dekan dua periode. Menjadi dekan dua periode adalah sebuah pencapaian langka apalagi di institusi sebesar Universitas Sriwijaya. Namanya sudah layak disejajarkan dengan Prof. Zainal Abidin (Dekan Periode 1963-1965) dan Prof. Natabaya (Dekan Periode 1974-1978). Inilah proses dari rohmah li al-nafs menuju rahmatan lil ‘alamin, proses dari nabi ilmiah menuju rosul ilmiah.
Bagaimanapun juga, menjamin kualitas dan fasilitas pendidikan yang memadai bagi para dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya adalah salah satu janjinya yang paling mulia (Media Sriwijaya Edisi 34, April 2015). Pengembangan fasilitas pendidikan dan Menuju World Class University adalah slogannya. Sebagai alumni Melbourne University dan Monash University tentunya ia telah melihat perbedaan antara kualitas pendidikan di Negeri Kanguru itu dengan pendidikan di Indonesia. Membandingkan fasilitas belajar di kedua negara ini adalah sebuah keniscayaan sebagai seorang pelajar Indonesia yang memiliki kesempatan belajar di Australia dan memikirkan cara untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di Indonesia adalah sebuah kewajiban sebagai seorang dekan di Universitas Sriwijaya. Inilah filosofi berdirinya FH Tower Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, gedung berlantai delapan yang menjadi icon baru Fakultas Hukum dan menjadi satu-satunya gedung tertinggi di Universitas Sriwijaya. Bukan persoalan tinggi dan megahnya gedung FH Tower, akan tetapi hakikat di balik itu semua adalah penyediaan fasilitas yang terbaik bagi anak-anak terbaik bangsa ini sebagai penerus generasi yang akan datang. Di masa Amzulian inilah FH Tower dirancang dan didirikan, mulai dari sebuah cita-cita menjadi sebuah fakta. Ruang kuliah dan perpustakaan yang representatif menjadi janji mulianya.
Beliau menyadari bahwa inti dari universitas adalah perpustakaan yang representatif, di samping ruang kuliah yang memadai. Inilah yang oleh kebanyakan pejabat kampus dilalaikan. Nampaknya beliau mengerti, Baghdad pernah menjadi pusat peradaban dunia dan super power pada masanya karena jasa bait al-hikmah (Perpustakaan termegah dan terlengkap pada masa Al-Ma’mun, Dinasti Abasiyah) . Apabila kita bandingkan antara perpustakaan di negara-negara maju dengan perpustakaan yang ada di Indonesia dari segi waktu beroperasinya saja sudah sangat menganggu hati nurani. Bayangkan saja, perpustakaan di Indonesia sebagian besar buka mulai pukul 08.00 dan tutup pukul 16.00 padahal itu perpustakaan di universitas negara (negeri), sebagai pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan di negara-negara maju di Barat perpustakaan buka dua puluh empat jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu, tidak ada istirahatnya. Sehingga bila dibandingkan, ada jeda kevakuman akademik selama enam belas jam dalam sehari, antara pukul 16.00 sampai dengan pukul 08.00. Artinya, dalam satu hari mahasiswa Indonesia telah ketinggalan enam belas jam dari mahasiswa di Barat. Dalam satu minggu kita kalah empat hari, dalam satu bulan kita kalah dua puluh hari, dan dalam satu tahun kita kalah delapan bulan dari Barat. Bayangkan, perlu berapa ratus tahun lagi untuk mengejar Barat. Bagaimana kualitas pendidikan kita akan lebih maju ketimbang Barat, apabila kita selalu kalah dari segala lini. Inilah kegelisahan yang disadari Amzulian, namun tidak dimengerti oleh guru besar dan pejabat kampus lain di negeri ini. Hanya persoalan kebijakan agar universitas di Indonesia bisa menyamai level Barat, dan hanya persoalan kebijakan pula agar Universitas Sriwijaya bisa mendahului Universitas Gadjah Mada atau bahkan Universitas Indonesia sekalipun. Jangan berharap untuk menjadi universitas nomor wahid di luar jawa, tapi bermimpilah untuk menjadi universitas terbaik di Indonesia, bahkan terbaik Asia.
Dengan pengalaman yang dimilikinya, sangat mungkin atmosfir pendidikan terbaik dapat tercipta. Kita sedang berada pada jalur yang benar. Amzulian memiliki mimpi yang besar untuk masa depan bangsa ini baik sebagai seorang profesor maupun sebagai pemegang kebijakan yang perlu diberikan apresiasi dan ruang yang lebih.
Rohmah ketiga adalah mimpi besar, namun tetap tawadu’. Acara peringatan satu dasawarsa Jabatan Guru Besar Prof. Amzulian Rifai memang diwarnai dengan dekatnya pemilihan Rektor Universitas Sriwijaya. Sebagai seorang intelektual yang memiliki mimpi besar tentunya sah-sah saja jika seorang Amzulian mendapat dukungan dari berbagai pihak, bahkan para guru dan seniornya, untuk dicalonkan menjadi Rektor Universitas Sriwijaya masa mendatang. Namun, jiwa tawadu’ seorang Amzulian tetap saja tidak bisa disembunyikan. Meskipun dengan seabrek pengalaman dan prestasi yang dimilikinya, ia memiliki jiwa santri yang tetap ta’dzim terhadap para guru dan seniornya.
Mimpi untuk menjadikan Universitas Sriwijaya menuju World Class University patut mendapat dukungan dari khalayak luas. Semua syarat untuk menuju mimpi itu telah ada dalam dirinya. Guru Besar, karya internasional, alumni luar negeri, menguasai beberapa bahasa dengan fasih, pengalaman melangit, dan mimpi yang besar menjadi modal yang sulit untuk ditandingi. Sehingga tidak akan ada lagi cerita orang “lari” apabila ada tamu dari luar negeri karena “gagap” bahasa Inggris.
The last but not least, sebagai seorang “rosul ilmiah”, Amzulian telah memiliki, paling tidak, tiga fadhilah yang dapat menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan “sudah berkarya apa Amzuilan untuk bangsa?.” Bukan sekedar “sloganisme” yang ia tawarkan untuk kemajuan pendidikan bangsa ini, tapi bukti nyata akan mimpi besarnya telah kokoh berdiri di dalam FH Tower yang akan tetap tercatat dalam sejarah seribu tahun lagi. Semakin besar seseorang, maka akan semakin besar pula tanggung jawabnya. Itulah Prof. Amzulian Rifai orang yang selalu bermimpi, namun tetap berjiwa santri.

Previous
Next Post »